Go back
January 06, 2018

Menyakiti Anak dalam Pengasuhan

Mengasuh tidaklah terlepas dari mendidik, orangtua dan anak akan terlibat dalam satu fungsi-peran pendidikan. Di mana pendidikan adalah rangkaian proses mendidik dan menanam nilai. Ini proses yang berkepanjangan, selesai satu harus disambung satunya. Bahkan satu belum selesai sudah harus menambah satunya, dua bahkan tiga. Sedangkan fokus dalam mendidik tidak hanya digantungkan pada hasil belaka, namun pada kesempurnaan proses transfer nilai. Mencakup muatan nilai itu sendiri, bagaimana cara nilai itu disampaikan, siapa yang menyampaikan serta lingkungan yang mempengaruhi.

 

Di tulisan ini bahasan kita akan menyoal tentang bagaimana cara menyampaikan dengan fokus pada kesan penyerta yang tertinggal pada diri anak. Selaku pengambil peran pelaku pembelajar.

Anak yang sedang menempuh proses pendidikan akan menyimpan kesan belajarnya. Kesan akan membawa pengaruh pada kenyamanan atau tidaknya ia belajar. Kesan yang merupakan hasil perlakuan itu akan terus ia simpan dan menjadi pondasi penilaian selanjutnya. Terlebih dalam kurun usia emasnya maka segala kesan yang menyerta akan ia tangkap, ia olah lantas diinternalisasikan ke dalam diri. Kesan negatif/menyakitkan akan lebih banyak tersimpan dan diingat sampai ia menempati kondisi trauma. Pun sebaliknya, kesan positif/menyenangkan akan membawa serta anak menikmati proses belajar dan tahapan tanam nilai menjadi lancar.

Seorang teman sekaligus kakak saya Ita Roihana pernah menuliskan nice quote yang beliau temukan dalam satu buku Read A Loud Handbook. Dikutipkan olehnya "Kita harus memastikan bahwa pengalaman awal anak dalam membaca itu tidak menyakitkan sehingga mereka senantiasa gembira mengingat pengalaman tersebut, kini dan selamanya. Namun jika pengalaman-pengalaman awal itu terus menerus menyakitkan hanya akan menciptakan pembaca di jam sekolah, alih-alih pembaca seumur hidup"

Beliau kemudian menyandingkan statemen tersebut dalam segala hal dalam pembelajaran. Jika sejak awal menyakitkan kita hanya akan menciptakan anak-anak yang tertekan dan terpaksa menjalani pembelajaran, alih-alih menjadi pembelajar dan petualang seumur hidup.

Jikalau sejak dini seorang anak sudah mendapati tekanan dan paksaan maka usia selanjutnya akan dipenuhi dengan dogma dan trauma, ketakutan dan keraguan untuk mengeksplorasi. Jika sudah demikian maka terkuncilah kebebasan ia sebagai individu pembelajar.

Orangtua adalah orang yang dituakan oleh anak, maka titipan moral penting yang harus mereka miliki adalah bagaimana cara mendidik dan mengajari anak, mengenalkan anak pada lingkungan dan mengilmui. Merangkai keseluruhan proses tersebut dengan benang kasih sayang, mengawasi bukan mengekang, mendisiplinkan bukan mengerasi, mengontrol bukan membatasi/membolehkan segala.

Menjadi orangtua haruslah bijak, yakni dengan paham kapan harus bertindak apa dan di mana harus bersikap bagaimana. Mendampingi proses belajar selamanya dengan bijaksana itu tidak mudah. Butuh kesiapan dan kesediaan untuk terus belajar. Karena yang kita persiapkan adalah investasi terbaik, jangan sampai salah menangani. Sekali lagi jika sejak dini seorang anak sudah mendapati tekanan dan paksaan maka usia selanjutnya akan dipenuhi dengan dogma dan trauma, ketakutan dan keraguan untuk mengeksplorasi.

Erna Dwi Susanti, 14 September 2017