ISMAIL DAN PENGASUHAN SINGLE FIGHTER
Editor: ern
Rindu teriringi pilu, bahagia terpoles duka, begitulah kiranya latar yang terjadi kala itu.
"Wahai Ayahanda, laksanakan saja apa yang memang diperintahkan Tuhan padamu. Jika Tuhan menghendaki, engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar"
Adem, sejuk dan menentramkan bukan? Mendapati jawaban santun diserta keikhlasan dari seorang anak laki-laki atas tawaran Ayahnya. Kalau yang ditawarkan kenaikan pangkat atau jabatan tinggi politis lainnya wajar memberi jawaban sesantun demikian. Namun Ismail mendapat tawaran penyembelihan.
Disembelih orang yang baru saja datang, menobatkan diri sebagai seorang Ayah tapi tak pernah terhubung sekian lama. Apalagi mengasuh, membelai secara langsungpun juga tidak. Ismail bersama ibunya ditinggal di tengah padang gersang, Ibrahim kembali pada istri pertamanya, Sarah.
Anak manakah yang dapat menghargai dengan penghargaan tinggi sedemikian?
Nyatanya, Ismail mampu. Ia ditempa oleh seorang ibu dalam perjuangan. Dididik dengan nilai tinggi ternama ilmu dan adab kesantunan. Diasuh dengan kasih dan sayang yang terkendalikan. Dikenalkan pula dengan sebuah fitrah ketauhidan. Hajar, menjadi single fighter pengasuhan Ismail kala itu.
Ibrahim kembali menemui Hajar dan anaknya kala usia Ismail tengah baligh, disampaikan dalam sebuah kisah bahwa usianya sekitar 17 tahunan.
Sehingga dengan demikian, mulai dari bayi, kanak-kanak, hingga jelang akil baligh pengasuhan langsung diambil alih oleh Hajar. Peran Ayah ia jalankan tanpa menomorduakan peran dia sebagai seorang ibu.
Kisah tersebut mengantarkan kita pada satu refleksi di mana seorang single fighter seperti Hajar mampu menjadikan seorang anak penuh bakti, bertauhid tinggi serta beradab santun yang mengagumkan layaknya Ismail. Menilai anak sebagai amanah dan titipan besar yang akan dipertanggungjawabkan, lantas dengan ijin, kehendak serta campurtangan Tuhan ia asuh dan besarkan. Tanpa dampingan suami, tanpa campurtangan langsung suami dalam pengasuhan.
Yang kedua, pertanyaan lanjutan mestilah kita utarakan. Di mana peran penting Ibrahim di sini? Doa. Di belahan tempat sebrang, Ibrahim tidak melupa lantas lepas tangan. Ia merawat amanah itu dengan untaian doa-doa, serta secara diam-diam kabar tentang istri dan anaknya kerap ia cari dari kafilah-kafilan yang safar di sekitar tempat Hajar dan Ismail berada.
Kesimpulan kita ada beberapa, mendidik dan mengasuh itu tanggungjawab bersama. Berbagi peran dan tugas itu sebuah keniscayaan yang memang harus diadakan. Meski terkesan tampil 'single fighter' dalam pengasuhan tapi tetap saja penyempurnaan dari pasangan tetap dibutuhkan. Selanjutnya menyoal tentang keterbatasan sebab satu keadaan, jikalau orangtua karena beberapa sebab mengharuskan ia mengasuh seorang diri yakinlah bahwa Allah akan memampukan. Ikhtiar lantas tawakal. Hajar telah memberikan bukti nyata serta keteladanan.
Bunda Yahya, 2 Septemer 2017 / 11 Dzulhijah 1438 H