Go back
July 26, 2017

MENATA KEWARASAN

[caption id="attachment_68" align="aligncenter" width="400"] Ummahat Foto: sayapsakinah[/caption]

Tempo hari sempet baca tulisan Ambu Zes yang berjudul Belajar Menjaga Kewarasan. Menyoal tentang sikap menghadapi tingkah 'aktif' anak yang sedang berada di masa eksplorasi. Di akhir tulisan beliau kembali mengingatkan bahwa sejatinya kewarasan perlu ada di setiap ibu. Tak usah meminta orang lain membantu mengondisikannya. Belajarlah mengontrol diri, menjaga mood baik agar tak mengotori. Ia tak kan hadir begitu saja, melainkan harus kita kondisikan. Demikian penjelasan Ambu.

Dan iya, sebagai seorang pendatang baru di dunia peribu-ibuan saya mengamini statement tersebut. Kewarasan diri itu perlu, meletakkan rasa lapang di bawah rasa tertekan, mengedepankan rasa ikhlas di antara kelelahan, menyajikan sabar di tengah kepenatan, menata kontrol dalam padatnya aktivitas harian. Pagi ketemu lagi dengan besok pagi.

Apa itu gampang? Tidak. Sangat tidak mudah. Perasaan selalu dibawa-bawa mendominasi, akal terkesampingkan sama kelelahan dan kesibukan. Hingga keseringan setiap kondisi dihadapi dengan emosi yang tidak terkendalikan oleh akal saat dipantik satu hal yang ia nilai sebagai 'problem', meskipun itu sepele. Nafsu merajai dan jadilah pemunculan emosi negatif sebagai manuver atas tiadanya kontrol diri pertimbangan akal, tidak waras.

Wajar, keadaan demikian sangat wajar terjadi. Karena dalam beraktivitas kita membutuhkan asupan sebagai penghasil energi. Asupan demikianlah yang kita sebut bahan bakar. Diri manusia tidak hanya tersusun atas fisik semata, ada jiwa/psikis dan ada akal sebagai perimbangan. Untuk beraktivitas, agar kewarasan senantiasa membersamai maka perlu adanya keseimbangan pemenuhan bahan bakar ketiganya.

Untuk jasad, well, terlaksanalah sudah dengan kita makan makanan sehat, menyeimbangkan dengan menjaga kebugaran. Namun terkadang bahkan keseringan (saking padatnya aktivitas dalam rutinitas) kita sebagai ibu-ibu melupa pemenuhan kedua unsur penyusun yang lain. Psikis/jiwa dan akal. Psikis kita butuh asupan nilai-nilai luhur ketuhanan dan ketaatan. Jalan kita akan sempoyongan, emosi kita kelabakan manakala jiwa-jiwa yang kita gunakan beraktivitas adalah jiwa yang kering kerontang. Penuhi juga bahan bakar dari aspek jiwa. Tentang hak akal, ia butuh dipenuhi dengan wawasan, ilmu pengetahuan dan pengasahan kasus untuk tetap berpikir mendalam.

Seimbangkan ketiganya untuk tetap menghadirkan kewarasan. Diterpa sepadat apapun kesibukan maka waras tetap dapat kita tata.