Go back
January 20, 2023

ANAK 8 TAHUN PERKOSA ANAK TK, KITA DI MANA?

Cemas, iya. Khawatir, pasti. Demikianlah ketakutan yang menjadi bahan dialog dalam diri saya ketika menuliskan artikel ringkas menyikapi perihal anak TK yang diperkosa 3 orang anak usia 8 tahun di Mojokerto.

Sebagai seorang ibu dari anak laki-laki berumur 5 tahun yang tengah duduk di bangku TK B, saya merasakan betul bagaimana hati ibu korban dan emosi ibu pelaku. Entah berada di pihak mana, saya mengutuki diri sendiri sebagai ibu yang sedang berdiri di atas ujung duri. Bergerak sedikit maka saya akan terluka. Serba salah dan pasrah.

Kemudian sebagai seorang praktisi pekerja sosial tentunya kasus ini bukan kali pertama terjadi, jika ditanyakan perihal rasa, mungkin lidah saya sudah hambar merasakan tersebab seringnya kasus serupa harus saya dengar dan hadapi setiap hari. Namun sebagai seorang ibu, sakit yang saya rasakan seiring besarnya dengan rasa gagal kita selaku orang tua untuk mendampingi proses tumbuh dan berrkembang anak-anak.

Anak yang secara fitrah terlahir netral. Kemudian saat tumbuh mereka melakukan tindakan salah, berarti ada suatu kondisi yang terlewat untuk mereka pelajari. Mungkin mereka terlewat mengetahui mana yang benar, atau mereka mempelajari hal yang salah. Sehingga tanpa adanya bimbingan dari orang dewasa di sekitarnya mereka menjadikan kedua konsep benar dan salah menjadi suatu yang samar, dianggap semuanya benar.

Di mana orang dewasanya?

Apa ini salah anaknya? Bukan. Mereka saat ini sedang berproses untuk mengetahui konsep benar dan salah. Mereka membutuhkan peran dan keberadaan orang dewasa di sampingnya, di sekitarnya, di sekelilingnya bahkan jika perlu di dekatnya. Bukan perangkat digital dan media yang semakin culas mendidik dan membersamai mereka ke tempat tanpa arah dan pendidikan. Maka saat peristiwa ini terjadi, pertanyaan yang harusnya kita munculkan adalah “di mana orang dewasa di sekitarnya”.

Orang dewasa dalam konsep yang luas tidak hanya dibebankan kepada orang tua. Barangkali dalam kondisi tertentu, anak tersebut berada di lingkungan yang tidak selalu didampingi/dibersamai oleh orang tuanya. Namun demikian harusnya tetap ada orang yang mengambil peran sebagai orang dewasa di sekitarnya. Saudara, tetangga, bahkan masyarakat secara luas.

Pertanyaan perihal “di mana” tentunya tidak difokuskan pada saat kejadian berlangsung, akan tetapi pada peran selama ini. Di tempat mana orang dewasa mengambil peran pendidikan kepada anak saat mereka berjalan dalam proses tumbuh dan berkembang.

Peran dan Tugas Orang Dewasa

Ada peran yang tidak dimainkan sehingga proses belajar anak dalam kejadian ini hilang. Pertama, seks education. Pemberian informasi dan pendidikan perihal seks bagi beberapa kalangan masih menjadi hal yang tabu namun ini adalah upaya urgent yang harus dilakukan. Mudah? Tidak. Seiring dengan tingginya rasa ingin tahu pada anak, penjelasan yang diberikan oleh orang dewasa perihal seks akan melewati jalan rawan yang membutuhkan kehati-hatian. Anak akan penasaran, akan menanyakan banyak hal, akan mencoba-coba? Barangkali ketakutan seperti ini yang membuat beberapa orang dewasa menganggap tidak perlu memberikan pendidikan seks kepada anak-anak mereka.

Justru di sinilah terletak tantangannya, mengemas pendidikan semenarik mungkin seiring menanamkan konsep benar dan salah kepada anak adalah PR besar bagi orang dewasa.

Kedua, pendampingan. Bagi seorang anak, kebutuhan yang diperlukan saat dekat dengan orang dewasa di dekatnya adalah ‘teman’. Ia membutuhkan orang yang dapat diajak bermain seperti umum pada usianya. Ia butuh sosok yang bisa menerima, tidak mengarahkan dan tidak mendikte. Orang dewasa yang memiliki tanggung jawab mendampingi anak dapat mengambil kesempatan ini dengan menjadi sahabat/teman dekat bagi anak. Beriring dengan mencari simpati dan ruang di hati anak, orang dewasa mengajarkan substansi baik atau buruk kepada anak selama proses ia tumbuh menjadi dewasa. Dalam proses pendampingan ini pula, anak akan mencontoh dan mengikuti seperti apa teman dewasa yang berada di dekatnya. Tampilkan diri sebagai sosok yang mendidik, memberikan contoh dan keteladanan baik kepada anak.

Ketiga, pengawasan. Sekecil-kecilnya anak mereka membutuhkan ruang untuk menunjukkan kemandirian dan tidak bergantung selamanya kepada orang tua. Dalam kondisi seperti inilah, seorang anak memerlukan jarak dengan orang dewasa di sekitarnya. Anak membutuhkan ruang untuk berekspresi tanpa campur tangan dan keterlibatan orang tua. Maka, dalam tahapan ini upaya yang dapat dilakukan oleh orang dewasa adalah melakukan pengawasan.

Mari menjalankan peran kita selaku orang dewasa untuk anak-anak di sekitar kita. Semoga mereka dapat tumbuh dengan wajar bersama kita, orang-orang dewasa, yang ia anggap sebagai temannya tumbuh dan berkembang.