Midah si Gigi Emas, Perlawanan Stigma Haram dan Kegelapan
Kembali kepiawaian Pramoedya mengaduk emosi pembaca, dituliskan kisah mendasar pada kondisi keumuman masyarakat dan masalah sosial. Status sosial yang mengantarkan manusia pada derajat gengsi, adalah Haji Abdul sosok agamawan yang digambarkan sebagai orang berkecukupan yang ingin membuktikan pada kampung halaman bahwa ia telah menjadi perantau yang mapan.
Dikaruniai seorang anak cantik jelita, Midah namanya, ia perlakukan sang anak dengan manja, perhatian penuh dan cinta tiada tara. Perlakuannya berubah, di usia Midah 9 tahun, setelah nadzarnya untuk memiliki anak lagi terkabulkan, lahirlah anak lagi dan belum genap setahun disusul hadirnya anak kembar lagi hingga seterusnya. Perhatian ia dan istrinya tersita, sangat kurang dari biasanya.
Sebagai anak yang pernah semata wayang selama bertahun-tahun, Midah cemburu. Cara ia mendapatkan perhatian orangtuanya tidak juga berbalas, ia mencari perhatian dan bahagia dari luar keluarganya, pergi pulang larutpun tidak menjadi perhatian orangtua. Kedua orangtua Midah terlalu perhatian pada adiknya. Akhirnya bahagianya tertambat pada musik, keroncong.
Ia ikuti kelompok keroncong keliling, dikoleksinya keping piringan hitam keroncong. "Haram, itu haram", meledak amarah Haji Abdul melihat tingkah midah yang memutar lagu keroncong di rumah. Dipukullah Midah dan merasa terpukullah jiwa Midah hari itu. Ia mengurung diri dalam kamar, malu ia pada orang-orang karena perlakuan Ayahnya yang menyakiti diri dan hatinya. Ia mengurung diri hingga berakhir di masa perjodohan.
Hanya boleh dinikahi oleh Haji kaya dari kampung halaman sang Ayah, itu syarat mutlak untuk setiap pelamar yang datang. Haji Terbus, tuan tanah dengan sawah yang luas dan harta melimpahlah yang diterima. Menikahlah mereka. Terbus bukanlah pemuda dan lajang, istrinya bertebar di mana-mana, Midah mengetahui itu di usia kehamilannya 3 bulan. Ia kabur dari rumah, menuju Jakarta, mengadukan cerita pada Riah, mantan rewang/pembantunya.
Di tengah kehamilannya yang kian memberat, Midah melawan pahitnya kehidupan, bertahan hidup dengan segala keterbatasan. Terkuatkan oleh janin yang ia kandung, terpaan kejamnya jalanan ia hadapi. Bergabung dengan kelompok keroncong dari restauran ke restauran, dari rumah ke rumah. Berbekal paras cantik, ia sajikan senyum menawan untuk memikat para pendengar. Suaranya indah menjadi penyempurna untuk perwajahannya. Dipanggillah ia si manis. Tindak pelecehan ia hadapi, ia bertahan sekuat tenaga mempertankan harga diri.
Lahirlah Rodjali, seorang raja yang memberi sumber kekuatan untuknya. Pasca melahirkan pertentangan kepentingan dari kelompok keroncongnya mulai tampak, Midah yang akhirnya melapisi satu giginya dengan emas seolah menjadi bisul yang harus disingkirkan.
Ditolonglah ia oleh Ahmad, seorang perjaka berprofesi polisi lalu lintas. Ia yang mengajarkan teknik bernyanyi, belajar tentang nada dan suara, ia yang menyewakan tempat bernaung aman untuk Midah dan Rodjali anaknya, ia juga yang telah merenggut kesucian Midah atas dalih cinta pengecut itu menyebutnya
Perubahan hidup terjadi ats keluarga Haji Abdul, hutang menumpuk dan kesehatan fisik menurun. Ia merindukan Midah anak sulungnya, sudah mulai berdamai memaafkan. Ia mencari dan menunggu kepulangan anaknya. Hingga satu malam, istrinya menemukan cucunya, Rodjali dalam satu pondokan, dibawalah Rodjali pulang.
Midah menyusul Rodjali, membawa pergulatan batin dan pencemaran nama keluarga. Kedua orangtuanya berusaha legowo menerima, tapi Midah pribadi berprinsip, ia tidak bisa bertahan pada keadaan yang menghakimi janin yang ia kandung. Pun jika saat belum lahir orang-orang akan menerimanya, tidak ada jaminan setelah lahir stigma anak haram tidak diberikan pada anaknya. Janin yang ia kandung berhak mendapat hak anak dan kesucian. Ia titipkan Rodjali pada neneknya, ia kembali menatap jalanan. Hingga langkahnya kembali pada jalanan itulah yang mengantarkan Midah pada pengabdi kepuasan, kebebebasan dan pemuas hawanafsu hartawan. Midah menenggelamkan semuanya pada gelapnya kehidupan.
Jakarta Selatan, 8 April 2018 | Bunda Yahya