Go back
February 12, 2018

Menanam Budaya Tertib Baca

[caption id="attachment_371" align="alignleft" width="300"] Location : Library Corner of Simpang Lima Gumul, Kediri[/caption]

Dalam pengasuhan dan pedidikan anak secara tertulis, Ayahnya Yahya dan saya tidak membreakdown rigid tentang apa yang akan kami lakukan. Semisal pekan pertama harus apa, pekan kedua harus bagaimana dan seterusnya. Bukan karena kami berdua tidak ada yang miliki latar belakang keguruan yang piawai menyusun kurikulum pengajaran dan semisalnya, tapi lebih tersebab kami berdua adalah tipikal orang yang liar (eh maaf, apa yaa bahasa tepatnya?) - liar dalam membiarkan gagasan/ide dan inovasi kami berimprovisasi seluas mungkin. Hanya saja batasan skala besarannya tetap kami miliki sebagai kontrol dan tolok ukur.

Tidak jarang, agenda-agendapun kami jalankan secara dadakan. Malamnya kepikiran, besoknya kami jalankan, begitu seringnya. Dengan masih mengedepankan prinsip keseimbangan, re-asesmen tetap diupayakan.

Sepertihalnya dalam menanamkan budaya baca. Upaya-upaya yang kami jalankan tidaklah terjadwal secara saklek kapan si kecil harus baca atau dibacakan buku. Tidak menjadikan aktivitas ini sebagai kewajiban yang menghadirkan rasa 'berdosa' apabila tidak menjalankannya. Lantas yang kami lakukan apa?

Pertama, memegang teguh komitmen. Komitmen menjadikan buku sebagai sumber ilmu, menjadi perintah dan kebaikan yang membawa kebaikan serta membaca adalah kebutuhan. Kami butuh maka kami baca, lantas komitmen yang menginternalisasi itulah yang kami jadikan bekal untuk memberi keteladanan. Bukan memaksakan, kami baca didekat si kecil-si kecil mendekati, merebut buku yang kami baca, menjadikannya sebagai mainan (bahkan beberapa kali buku sampai lusuh, robek padahal belum tuntas dibaca), namun hingga tiba di akhirnya ia meminta buku dengan sendirinya. Sekedar dibolak balik, dilihatin gambarnya sampai ditunjuk-tunjuk di ajak bicara (sampai usia si kecil menginjak 1 tahun).

Kedua, memfamiliarkan ia pada buku. Selain kami beraktivitas baca-membaca di dekat si kecil, yang kami lakukan adalah mendekatkan dia pada buku. Kami pilihkan boardbook untuk buku khusus si kecil, agar lebih aman. Apa si kecil langsung tertarik? Tidak. Kami hanya mendekatkan buku itu dengan tempat penyimpanan mainan-mainannya, secara tidak langsung ia akan melihat buku, beberapa waktu memainkannya- mulanya sebagai mobil-mobilan, sebagai rumah-rumahan namun kemudian ia mulai mengenal kalau itu adalah buku. Setelah teramati intensitas ia mulai banyak dengan buku, kami sampaikan ke dia untuk memindah buku di rak dan lemari buku. Kami tunjukkan. Sampai kemudian ia paham kalau mau mencari buku, letaknya di sana, ia mencari dengan sendirinya, minta dibacakan dan seterusnya.

Ketiga, kami soundingkan ajakan membaca. Sounding di sini bukan aktivitas menyampaikan berulang-ulang setiap saat ke si kecil untuk membaca. Soundingpun kami lakukan secara insidental sesuai dengan momen yang tepat menurut pengamatan kami. Insidental namun dari sisi intensitas memang kami seringkan. Situasional.

Selebihnya kami percayakan pada diri si kecil untuk menemukan kenyamanannya. Kami yakin ia akan mengikuti hal-hal yang ia rasakan nyaman. Setelah nyaman, budaya tertib baca akan terinternalisasikan pada dirinya di masa-masa selanjutnya. Selaku orangtua, kami hanya mengenalkan lantas mengarahkan bukan memaksakan.

 

Ngawi, 12 Februari 2018